Pages

 

Minggu, 13 Oktober 2013

Teori Stakeholder

7 komentar
Teori Stakeholder

Pengertian Stakeholder
Perkembangan bisnis di era modern menuntut perusahaan untuk lebih memerhatikan seluruh pemangku kepentingan yang ada dan tidak terbatas hanya kepada pemegang saham. Hal ini selain merupakan tuntutan etis, juga diharapkan akan mendatangkan manfaat ekonomis dan menjaga keberlangsungan bisnis perusahaan. Dari perspektif hubungan antara perusahaan dengan seluruh pemangku kepentingan inilah teori stakeholder kemudian dikembangkan.
Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan oleh Standford Research Institute (RSI) ditahun 1963 (Freeman, 1984:31). Hingga Freeman mengembangkan eksposisi teoritis mengenai stakeholder ditahun 1984 dalam karyanya yang berjudul Strategic Management: A Stakeholder Approach.
Freeman (1984:25) mendefinisikan stakeholder sebagai any group or individual who can affect or be affected by the achievement of an organization’s objective.” bahwa stakeholder merupakan kelompok maupun individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan suatu organisasi.
Warsono dkk. (2009:17) mengemukakan argumen bahwa dasar dari teori kepentingan adalah bahwa perusahaan telah menjadi sangat besar, dan menyebabkan masyarakat menjadi sangat pervasive sehingga perusahaan perlu melaksanakan akuntabilitasnya terhadap berbagai sektor masyarakat dan bukan hanya kepada pemegang saham saja.

Asumsi teori stakeholder dibangun atas dasar pernyataan bahwa perusahaan berkembang menjadi sangat besar dan menyebabkan masyarakat menjadi sangat terkait dan memerhatikan perusahaan, sehingga perusahaan perlu menunjukkan akuntabilitas maupun responsibilitas secara lebih luas dan tidak terbatas hanya kepada pemegang saham. Hal ini berarti, perusahaan dan stakeholder membentuk hubungan yang saling memengaruhi.
Warsono dkk. (2009: 29-31) mengungkapkan bahwa terdapat tiga argumen yang mendukung pengelolaan perusahaan berdasarkan perspektif teori stakeholder, yakni, argumen deskriptif, argumen instrumental, dan argumen normatif, berikut penjelasan singkat mengenai ketiga argumen tersebut:
1.    Argumen deskriptif menyatakan bahwa pandangan pemangku kepentingan secara sederhana merupakan deskripsi yang realistis mengenai bagaimana perusahaan sebenarnya beroperasi atau bekerja. Manajer harus memberikan perhatian penuh pada kinerja keuangan perusahaan, akan tetapi tugas manajemen lebih penting dari itu. Untuk dapat memperoleh hasil yang konsisten, manajer harus memberikan perhatian pada produksi produk-produk berkualitas tinggi dan inovatif bagi para pelanggan mereka, menarik dan mempertahankan karyawan-karyawan yang berkualitas tinggi, serta mentaati semua regulasi pemerintah yang cukup kompleks. Secara praktis, manajer mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik saja.
2.    Argumen instrumental menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku kepentingan dinilai sebagai suatu strategi perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang mempertimbangkan hak dan memberi perhatian pada berbagai kelompok pemangku kepentingannya akan menghasilkan kinerja yang lebih baik.
3.    Argumen normatif menyatakan bahwa manajemen terhadap pemangku kepentingan merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Perusahaan mempunyai penguasaan dan kendali yang cukup besar terhadap banyak sumber daya, dan hak istimewa ini menyebabkan adanya kewajiban perusahaan terhadap semua pihak yang mendapat efek dari tindakan-tindakan perusahaan.

Identifikasi Stakeholder
            Pemangku kepentingan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan atas jenis dan sejauh mana kepentingan kelompok tersebut terhadap perusahaan. Hal ini penting dilakukan untuk membantu analisis perusahaan mengenai tindakan serta perhatian apa yang dibutuhkan oleh masing-masing stakeholder.
Freeman (1984:8-25) mengindentifikasi perubahan yang dapat terjadi pada lingkungan perusahaan kedalam dua kategori, yakni  internal dan eksternal. Bagian dari lingkungan internal adalah:
1.    Pemilik perusahaan
2.    Konsumen
3.    Karyawan
4.    Pemasok
Sedangkan yang termasuk bagian dari lingkungan eksternal terdiri atas:
1.    Pemerintah
2.    Kompetitor
3.    Advokasi konsumen
4.    Pemerhati lingkungan
5.    Special Interest Group (SIG)
6.    Media
Freeman (1984:25) kemudian menyajikan model hubungan dari kategori stakeholder dalam bentuk gambar sebagai berikut.

Gambar 2.1
Kategori Stakeholder

Sumber: Freeman, 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach

Warsono dkk. (2009:31-36) berdasarkan pengelompokan yang dikembangkan oleh Lawrence dan Weber, mengategorikan stakeholder menjadi dua kelompok, yaitu:

1.    Pemangku kepentingan pasar
Pemangku kepentingan pasar adalah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomik dengan perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tujuan utama perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat. Pemangku kepentingan pasar seringkali juga disebut pemangku kepentingan primer (primary stakeholder). Kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang ditetapkan sebagai pemangku kepentingan pasar meliputi pemegang saham, kreditur, pemasok, pelanggan, karyawan, dan distributor/pedagang besar/pengecer.
2.    Pemangku kepentingan non-pasar adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang walaupun tidak terlibat dalam pertukaran ekonomik langsung dengan perusahaan, dipengaruhi oleh atau dapat memengaruhi tindakan perusahaan. Pemangku kepentingan non-pasar seringkali juga disebut pemangku kepentingan sekunder (secondary stakeholder). Kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang dikategorikan sebagai pemangku kepentingan non-pasar, meliputi. komunitas, berbagai level pemerintahan, kelompok-kelompok aktivis, organisasi non-pemerintah, media, kelompok pendukung bisnis, dan masyarakat umum.
Beberapa individu atau kelompok dapat memainkan multi peran sebagai pemangku kepentingan. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai role sets. Misalnya, seorang dapat bekerja pada suatu perusahaan, dan sekaligus juga tinggal dalam komunitas di sekitar perusahaan, memiliki saham perusahaan dalam akun pensiunnya, dan bahkan membeli produk yang dihasilkan perusahaan tersebut dari waktu ke waktu. Individu ini mempunyai beberapa peran pemangku kepentingan perusahaan (Warsono dkk, 2009:36).
Perusahaan juga harus melakukan analisis stakeholder sehingga mampu mengetahui kebijakan dan tindakan apa yang akan ditempuh oleh perusahaan. Analisis pemangku kepentingan mencakup, (Warsono dkk, 2009:37) yaitu:
1.    Identifikasi pemangku kepentingan yang relevan.
2.    Kepentingan pemangku kepentingan.
3.    Kekuatan pemangku kepentingan.
4.    Koalisi  pemangku kepentingan.
Dari tinjauan Islam identifikasi stakeholder dari perspektif teori stakeholder konvensional masih memiliki kekurangan yang dianggap fundamental, yakni belum memasukkan unsur yang bersifat spiritual, yaitu hubungan manusia yang menjalankan proses bisnis dengan Tuhan. Dimana Allah SWT sebagai pemilik mutlak dari segala sesuatu akan meminta pertanggungjawaban manusia atas apa yang telah mereka lakukan.
Hubungan manusia dengan Tuhan dilaksanakan dengan menjalankan perintah dan larangannya baik yang berkaitan dengan, aqidah, syariah, maupun akhlak. Dan ketiga hal ini senantiasa saling berhubungan. Berkaitan dengan proses bisnis yang merupakan hubungan antara sesama manusia syariah syarIslam memberikan aturan yang disebutkan dalam sebagai muamalah.
Chapra dan Ahmed (2002:14) menyatakan bahwa “the most important stakeholder in the case of Islamic finance is Islam itself.” Dengan demikian institusi keuangan Islam harus senantiasa memerhatikan nilai-nilai Islam dalam menjalankan bisnisnya.
Read more...

Teori Agensi

6 komentar
Konsep Teori Agensi
 
Teori agensi merupakan salah satu teori dasar yang digunakan untuk menjelaskan hubungan yang terjadi pada praktek bisnis modern, yakni hubungan keagenan (agency relationship) antara prinsipal sebagai pemilik perusahaan dan agen sebagai pengelola perusahaan. Pada perusahaan besar saat ini, pemilik perusahaan direpresentasikan secara langsung oleh pemegang saham dan pengelola adalah manajemen perusahaan. Dari hubungan inilah seluruh asumsi mengenai teori agensi dibangun.
Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi, yaitu:
1.    Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang sifat manusia mengemukakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk aversion).
2.    Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian mengemukakan adanya konflik antar anggota organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas dan adanya asimetris informasi antara pemilik perusahaan dan manajemen.

3.    Asumsi tentang informasi.
Asumsi Informasi menerangkan bahwa informasi dipandang sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan.
Jensen dan Meckling (1976) sebagai yang pertama kali melakukan eksposisi teoritis mengenai teori agensi mendefinisikan hubungan keagenan sebagai berikut:
We define an agency relationship as a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent. If both parties to the relationship are utility maximizers, there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interests of the principal.

Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara seorang atau lebih prinsipal dengan orang lain yang disebut agen untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan sejumlah wewenang pengambilan keputusan kepada agen, demi memaksimalkan kepentingan prinsipal.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, agen tidak selalu bertindak berdasarkan kepentingan prinsipal. Sebagaimana yang dikemukakan. Manajemen bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information. (Arifin, 2005:7)
Manajemen diasumsikan seringkali bertindak berdasarkan kepentingan pribadi (Self Interest) sehingga terjadi konflik kepentingan antara pemegang saham dan manajemen yang pada akhirnya merugikan pemegang saham. Arifin  (2005:7) menyebutkan bahwa “Perbedaan Kepentingan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information.”
Menurut Arifin (2005:7-8) salah satu penyebab terjadinya permasalahan agensi adalah adanya Informasi Asimetri (Asymmetric Information).
Asymmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen.

Informasi yang dimiliki oleh pemegang saham dan pihak manajemen tidak merata. Dimana pemegang saham tidak memperoleh seluruh informasi yang dibutuhkan dari pihak manajemen untuk menilai kinerja yang telah dilakukan oleh pihak manajemen. Sebab manajemen perusahaan, dilatar belakangi oleh kepentingannya, memberikan informasi yang tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya.
Diperlukan sejumlah biaya untuk mengatasi permasalahan agensi dan meminimalisir terjadinya kecurangan yang terjadi. Biaya tersebut diistilahkan sebagai biaya keagenan (Agency Cost), Jensen dan Meckling (1976) mengidentifikasi  biaya tersebut menjadi tiga jenis, yaitu:
1.    Biaya monitoring (The monitoring cost), merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen.
2.    Biaya bonding (The bonding cost), merupakan biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk meyakinkan pemegang saham bahwa manajemen perusahaan berjalan dengan sebagaimana semestinya.
3.    Biaya kerugian residual (The residual loss), merupakan kerugian menurunnya nilai pasar akibat adanya hubungan keagenan yang ikut memengaruhi berkurangnya kesejahteraan pemegang saham.
Anggraini (2011) menyimpulkan bahwa teori agensi paling tidak memiliki dua tujuan, yaitu:
1.    Untuk meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam mengevaluasi lingkungan dimana suatu keputusan harus diambil (The Belief Revision Role).
2.    Untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil untuk memudahkan pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan persetujuan dalam kontrak kerja (The Performance Evaluation Role).
Hubungan penting teori agensi dengan pelaksanaan corporate governance adalah persoalan agensi yang kemudian coba untuk diselesaikan dengan menyelaraskan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen dengan berbagai mekanisme yang dikenal dalam corporate governance. Mekanisme tersebut antara lain (Warsono dkk, 2009:11-12), yaitu:
1.    Melakukan kontrak-kontrak remunerasi dan utang untuk manajer.
2.    Kontrak-kontrak utang.
3.    Pemegang saham mempunyai hak untuk memengaruhi cara perusahaan dijalankan melalui voting dalam rapat umum pemegang saham (RUPS)
4.    Pemegang saham melakukan resolusi yang mana suatu kelompok pemegang saham secara kolektif melakukan lobby terhadap manajer (mewakili perusahaan) berkenaan isu-isu yang tidak memuaskan mereka.
5.    Pemegang saham juga mempunyai opsi disinvestasi (menjual saham mereka) sebagai tanda ketidakpuasan atas kinerja manajemen perusahaan.
  Teori Agensi dari Perspektif Islam
Hubungan keagenan yang mengemukakan bahwa manusia senantiasa bersifat oportunis dan senantiasa diwarnai konflik kepentingan, oleh sejumlah pihak dianggap bermasalah dan tidak sejalan dengan prinsip Islam. Padahal Islam sangat menjunjung nilai persaudaraan (ukhuwah) yang mendorong seseorang untuk saling mencintai, mempercayai serta mengutamakan orang lain yang dimotivasi atas keimanan kepada Allah SWT.
Anggraeni (2011) Mengemukakan berkenaan dengan perspektif Islam dalam memandang teori agensi sebagai berikut:
Namun demikian jika dilihat dari hakekat amanah itu datangnya dari Allah, baik manajer maupun direksi telah melakukan tindakan yang tidak sesuai ajaran amanah. Melanggar amanah merupakan tindakan yang menuju kearah berkhianat, dan hal yang demikian ini merupakan perbuatan yang dilarang dan larangan dalam agama adalah ‘dosa’.

Teori agensi mengeleminir sikap amanah yang harus dimiliki oleh seseorang. Dimana setiap pihak baik pemilik saham dan utamanya pihak manajer yang telah diamanahi, wajib menjalankan sesuatu yang telah disepakati serta menghindari sikap khianat.
            Islam mengajarkan ummatnya untuk mendahulukan sikap positif dalam melihat hubungan atau kontrak antar sesama manusia terlebih lagi terhadap sesama muslim. Hal ini akan mewujudkan sikap saling percaya dari para pelaku bisnis.
Penelitian Lewis mengindikasikan bahwa pelaksanaan Islamic corporate governance memiliki kedekatan dengan model stewardship theory. Dimana manajer diasumsikan termotivasi untuk mencapai tujuan perusahaan, memiliki komitmen tinggi dan bekerja berdasarkan kepentingan pemegang saham. Dan asumsi ini sangat bertolak belakang dengan asumsi yang dibangun dalam teori agensi.
Pandangan Islam didasarkan atas sikap yang mengutamakan persaudaraan dan amanah, meskipun demikian dalam dinamika kehidupan khususnya bisnis, Islam tidak menutup kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan oportunis. Hal ini dapat dilihat dari adanya terminologi seperti, munafik dan fasik yang mengharuskan adanya tindakan antisipatif berupa pengawasan untuk menghalangi prilaku yang merugikan.
Dari sisi pengawasan, kita bisa melihat keterhubungan sekaligus perbedaan antara konsep teori agensi dan konsep Islam. Baik sistem konvensional maupun Islam sama-sama mendorong adanya pengawasan dan mengajukan mekanisme pengawasan yang dianggap mampu mengurangi terjadinya kecurangan. Namun model pengawasan bisnis dalam perspektif Islam memiliki perbedaan dari apa yang telah disebutkan dalam teori agensi.
Manhaj Islam mempunyai kelebihan, penggabungan antara pengawasan dari luar dan pengawasan dari dalam. Dasarnya adalah bahwa seorang muslim mengawasi dirinya sendiri, karena pengawasan dari luar hanya mencakup apa yang dilihat oleh manusia (Al-Haritsi, 2006:588)
Didasari atas filosofi Islam maka untuk menjamin bahwa etika bisnis telah dilaksanakan dan mencegah penyimpangan, terdapat dua konsep pengawasan, yakni pengawasan pribadi (Internal) dan pengawasan dari luar (eksternal). Pada dasarnya seorang muslim mengawasi dirinya sendiri yang merupakan implementasi dari sifat amanah dan untuk melengkapi pengawasan secara pribadi dilakukan pengawasan dari luar seperti pada institusi hisbah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan dilaksanakan dengan baik pada masa Khalifah Umar Ra. Selain itu terdapat institusi lain seperti dewan syariah, dewan syura dan audit religius yang akan dijelaskan kemudian.
Read more...

Pengantar: Islamic Corporate Governance (tata kelola perusahaan dalam Islam)

0 komentar

Perkembangan dunia bisnis yang semakin kompleks dan terjadinya berbagai kasus fraud pada perusahaan modern, mendorong para pelaku bisnis untuk menghadirkan suatu mekanisme pengelolaan perusahaan yang baik dan mampu menjamin terlaksananya komitmen-komitmen yang telah disepakati oleh seluruh pihak yang menjalankan hubungan bisnis. Di dunia internasional, sistem tersebut dikenal dengan istilah Corporate Governance. Di Indonesia sendiri penyebutan Good Corporate Governance (GCG) lebih populer digunakan.
Adapun dari sisi akademis, isu corporate governance muncul berkaitan dengan teori agensi yang menjelaskan hubungan antara prinsipal (pemilik perusahaan) dan agen (manajemen perusahaan). Dalam asumsi teori agensi terjadi tarik menarik kepentingan antara pemilik perusahaan dan pihak manajemen, dimana manajemen perusahaan diasumsikan melakukan pekerjaan atas dasar kepentingan pribadi (self interest). Hal ini kemudian memunculkan permasalahan agensi berupa asimetri informasi yang diciptakan dan dapat dimanfaat oleh pihak manajemen untuk melakukan kecurangan atau manipulasi yang tentunya akan merugikan pemilik perusahaan yang dalam hal ini adalah pemegang saham. Atas dasar itu kemudian diperlukan mekanisme corporate governance untuk mengatur hubungan antara pemilik perusahaan dan pihak manajemen.
Perspektif teori agensi dalam perkembangan dan pelaksanaan corporate governance dianggap kurang memadai karena hanya melibatkan hubungan yang sempit antara pemilik perusahaan dan pihak manajemen, yang secara kasat mata cenderung mengabaikan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan. Berawal dari hal ini, maka perspektif teori stakeholder mulai diimplementasikan pada corporate governance. 
Perspektif teori stakeholder berusaha mengatur hubungan perusahaan dengan seluruh pihak yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh perusahaan, baik pihak internal maupun eksternal perusahaan, sehingga cakupan dan pengaruh positif dari pelaksanaan corporate governance bisa dirasakan lebih luas oleh masyarakat.  Penerapan teori stakeholder dalam corporate governance dapat dilihat dengan jelas pada munculnya konsep Corporate Social Responsibility (CSR) maupun Green Accounting yang menekankan perhatian terhadap manusia dan alam yang merupakan bentuk pengembangan dari corporate governance.
Diskursus mengenai konsep corporate governance tidak serta merta berhenti pada teori stakeholder sebagai dasar yang mapan. Terdapat beberapa kritik atas landasan teori stakeholder yang digunakan dalam pelaksanaan corporate governance. Kritik itu khususnya datang dari kalangan cendikiawan dan ekonom muslim yang menilai bahwa corporate governance konvensional yang menggunakan perspektif teori stakeholder memiliki kekurangan yang fundamental. Bahwa teori tersebut belum mencakupi hubungan mendasar dalam kehidupan ini, yaitu hubungan segala sesuatu dengan Tuhan. Hal tersebut mendorong para cendikiawan muslim untuk menggali lebih dalam mengenai bagaimana sebenarnya konsep Islam dalam  memandang dan melaksanakan proses bisnis.
Penelusuran historis yang dilakukan mengungkapkan bahwa masyarakat  sejak zaman Rasulullah Saw dan para sahabatnya telah mengenal konsep-konsep pengelolaan bisnis yang sehat dan berdimensi keilahian sekaligus kemanusiaan. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui kententuan syariah yang ada dan usaha untuk mendirikan berbagai institusi yang dapat mendukung tata kelola perusahaan yang baik serta tidak melanggar ketentuan-kentuan syariah.
Corporate governance dalam perspektif Islam atau dapat diistilahkan dengan Islamic corporate governance senantiasa mengaitkan segala konsep dan  tingkah-laku dalam tata kelola bisnis dengan hal-hal yang bersifat transendental dan imanen. Hal ini merupakan konsekuensi dari keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Maka dari sini kita mengenal nilai tauhid sebagai landasan atas segala keyakinan, pemikiran dan prilaku seorang muslim, termasuk dalam memahami corporate governance.
Salah satu prinsip yang merupakan turunan terbesar dari nilai tauhid adalah prinsip keadilan. Ajaran Islam senantiasa mendorong ummatnya untuk bersikap adil dalam setiap hal, baik dalam masalah aqidah, syariah, maupun akhlak sebagai konsekuensi atas keimanan dan untuk mencapai derajat ketakwaan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 8:
  
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 5:8)

Sejalan dengan ayat di atas, salah satu prinsip dalam pelaksanaan corporate governance adalah fairness (kesetaraan atau keadilan) yang dimaksudkan untuk menghadirkan pengelolaan perusahaan yang adil bagi setiap pihak. Jika dikaitkan dengan syariah, maka keadilan tersebut harus mencakup aspek spiritual dan material. Maka makna adil dapat diperluas pada setiap prinsip yang terdapat dalam Corporate Governance maupun nilai-nilai lain yang dapat dimunculkan atas implementasi keadilan.

Model corporate governance perspektif Islam untuk saat ini berkembang terbatas pada institusi-institusi finansial berbasis syariah, utamanya perbankan syariah. Sebuah fenomena yang menarik untuk diperhatikan berkaitan dengan latar belakang yang telah dipaparkan adalah keberadaan perbankan syariah, seperti PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Sebagai bank syariah pertama di Indonesia, Bank Muamalat mampu bertahan melewati fase krisis ekonomi ditahun 1997 hingga 1998 serta melakukan recovery dalam jangka waktu dua tahun ditengah kolapsnya industri perbankan konvensional pada masa itu.
Bank Muamalat dalam laporan GCG-nya  mengungkapkan, bahwa dalam menjalankan bisnis, pihaknya senantiasa mengakomodasi nilai-nilai Islam dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kebaikan lainnya guna menjamin hak dan kewajiban seluruh stakeholdernya dalam pelaksanaan corporate governance-nya.  

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan maka dianggap penting untuk melaksanakan penelitian, sehingga dapat diketahui sejauh mana pelaksanaan corporate governance perspektif Islam pada perbankan syariah memenuhi prinsip keadilan. Sehingga penelitian ini mengambil judul “Analisis Praktek Islamic Corporate Governance Pada Perbankan Syariah (Studi Kasus Pada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk)”




Read more...
 
Read more: http://www.bum1.info/2012/04/cara-membuat-navigasi-paging-halaman.html#ixzz1rc16orji